Translate

FILOSOFI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI



Pelaksanaan pendidikan dalam bentuk sasaran siapapun harus dilandasi oleh ilmu pendidikan. Pendidikan tanpa dilandasi oleh ilmu pendidikan akan menghasilkan praktik yang tidak mempunyai arah yang jelas. Landasan praktek pendidikan anak usia dini bersumber dari filsafat dan teori pendidikan sesuai dengan tumbuh kembang anak berdasrkan tingkat capaian usia yang dimiliki. Pendidikan bertugas menstimulasi secara optimal melalui sentuhan-sentuhan yang kondusif bagi anak untuk berkembang secara holistik.

Awalnya pendidikan untuk anak usia dini diselenggarakan tanpa terprogram, terutama dalam keluarga, dan tanpa didasari sekarang semakin dibutuhkan pengetahuan yang memadai tentang bagaimana anak bertumbuh, berkembang, dan belajar. Keadaan itu masih saja terjadi terhadap penyelenggaraan pendidikan anak usia dini di negara kita, meskipun hasil penelitian telah menunjukan betapa pentingnya pemberian stimulasi semenjak anak usia dini untuk mengoptimalkan perkembangannya setelah dewasa. Sekarang kesadaran tentang pentingnya pendidikan anak usia dini telah muncul, pendidikan anak usia dini lebih dipandang sebagai sesuatu yang esensial untuk mengoptimalkan perkembangan anak. Dengan kesadaran terhadap pentingnya perkembangan anak dan pentingnya pelayanan perkembangan anak, muncul pulalah minat untuk pempelajari tentang perkembangan dan pandangan-pandangan pada ahli tentang perkembangan anak. Mempelajari bagaimana anak berkembang, anak belajar, dan membicarakan konsep-konsep bagaimana memperlakukan dan bagaimana membelajarkan anak merupakan persoalan filsafat pendidikan anak. Modul ini membahas tentang pemikiran-pemikiran para ahli yang membicarakan atau membahas bagaimana anak berkembang, anak belajar dan pelayanan yang harus diterima agar anak usia dini memperoleh pelayanan yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhannya. Pembahasan pemikiran-pemikiran para ahli tentang pendidikan anak merupakan filsafat tentang pendidikan anak usia dini. Selanjutnya, pemikiran-pemikiran filsafat para ahli akan melahirkan konsep-konsep penting tentang pendidikan anak usia dini.

FILOSOFI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling tinggi derajatnya, paling unik, penuh dinamika dalam perkembangannnya dan memiliki potensi untuk mengembangkan dirinya yang dianugerahkan kepadanya bila mendapatkan layanan yang sesuai. Sebagai manusia, semenjak berusia dini mereka telah dibekali dengan berbagai potensi-potensi yang perlu dikembangkan agar kelak dapat menjalankan fungsi dan perannya sebagai manusia secara efektif dan produktif dalam menjalami kehidupan sehari-hari. Begitu pentingnya peran anak, para ahli pendidikan anak telah berusaha mencari jawaban yang akurat tentang anak. Pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan tentang anak. Siapakah anak? Apakah mereka dibekali dengan kemampuan ketika dilahirkan atau tidak? Apakah mereka dapat belajar sendiri ataukah perlu dibelajarkan? Apa saja dimensi perkembangan yang mereka miliki ? Apakah mereka memiliki karakteristik dan kebutuhan khusus ? Apakah lingkungan memberikan pengaruh yang besar kepada mereka berkembang atau tidak ? Apakah mereka dibekali dengan potensi kecerdasan tunggal ataukah kecerdasan yang majemuk ? Apakah mereka dibekali dengan potensi baik atau membawa potensi yang kurang baik ? Apakah mereka sama dengan orang dewasa atau tidak ? Berbagai pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tentang anak sampai hari ini masih saja diperdebatkan oleh para ahli. Pertanyaan tentang apa saja yang dimiliki anak ? Apa yang mempengaruhi mereka. Mengapa mereka perlu dikembangkan, mengapa mereka berperikaku seperti itu, mengapa mereka harus dibelajarkan ? bagaimana mereka belajar, berkembang, dan bertingah laku, bagaimana kalau dibiarkan, atau dipersiapkan ? Pertanyaan-pertanyan tentang anak sebenarnya menggambarkan betapa pentingnya menemukan jawaban yang mendasar untuk melihat dan merumuskan keadaan anak secara benar. Pertanyaan yang mendasar untuk menemukan jawaban yang akurat tentang anak adalah pertanyaan yang mencari kebenaran hakiki tentang anak. Pertanyaan yang mendasar terhadap hakikat anak dan pendidikan anak pada dasarnya merupakan upaya menemukan jawaban yang kebenaran tentang anak. Usaha untuk menemukan kebenaran tentang anak meruapakan usaha menemukan filsafat yang benar tantang anak. Sebelum membahas filsafat pendidikan anak usia dini, akan dibahas tentang pengertian filsafat pendidikan.
Bernadib (1987) mengemukan bahwa filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. Bersifat filosofis, dengan sendirinya filsafat pendidikan pada hakikatnya adalah penerapan suatu analisis filosofis terhadap lapangan pendidikan. Yahya Qohar (1983) mengatakan filsafat pendidikan adalah filsafat yang bergerak dalam lapangan pendidikan. Menurut Ozmon & Craver (1995) filsafat pendidikan dipandang sebagai aplikasi ide-ide filsafat terhadap masalah-masalah pendidikan. Al-Syaibany (1979) mengemukakan bahwa filsafat pendidikan adalah pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah-kaidah filsafat dalam bidang pendidikan.
Berdasarkan pengertian filsafat pendidikan di atas, maka filsafat pendidikan anak usia dini pada hakikatnya adalah penerapan pandangan-pandangan filsafat dalam pendidikan anak usia dini. Dalam arti lain, filsafat pendidikan anak usia dini adalah pengaplikasian analisis-analisis atau kajian-kajian filsafat dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini baik menyangkut kurikulum, aspek pendidikan, tujuan pendidikan, objek pendidikan, pendekatan, model pembelajaran, proses asemen dalam pendidikan anak usia dini..
Filsafat pedidikan anak usia dini bertujuan untuk membantu merumuskan peran proses penyelenggaraan pendidikan untuk anak usia dini di dalam masyarakat, menafsirkan peran peran pendidikan, dan pengarahkan peran tersebut untuk merealiasikan tujuan dalam mengabdi kepada masyarakat baik untuk masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Filsafat pendidikan anak usia dini akan menjawab pertanyaan berkut: (a) bagaimana melayani anak-anak agar mereka dapat berkembang dengan baik ? (b) Apa kegiatan-kegiatan yang cocok diberikan kepada anak yang sesuai dengan kemamuan mereka ? (c) apa kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi anak-anak, apa kemampuan-kemampuan yang harus mereka miliki untuk memenuhinya dan mengembangkannnya di dalam masyarakat ? (d) apa nilai-nilai dan moralitas yang diperhatikan masyarakat dan hendaknya didikan kepada mereka ? (e) Bagaimana pola hubungan antara anak dengan orang dewasa? (f) Filsafat pendidikan melakukan pengkajian secara mendalam, luas, mendasar tentang peranan pendidikan terhadap pengembangan anak dan memberikan arah yang benar tentang penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Filsafat pendidikan anak usia dini dibutuhkan untuk mengungkap dan mengkaji realitas yang sedang terjadi di tengah-tengah proses pendidikan anak usia dini. Sebaiknya praktik pendidikan yang tidak berlandaskan filasafat pendidikan yang benar akan menjadikan pendidikan tanpa arah yang jelas, tujuan pendidikan yang tidak relevan dengan sifat, kebutuhan dan perkembangan anak, malah dapat memberikan perlakukan yang salah terhadap anak.

Filosofi yang Berpegaruh pada Pendidikan Anak Usia Dini
Pandangan orang tentang anak berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan, pengalaman dan proses budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Padangan seseorang tentang anak mempengaruhi perlakukan pendidikan terhadap anak itu sendiri. Para ahli telah memberikan perhatian yang serius terhadap anak usia dini dan pendidikannya. Mereka berasal dari berbagai budaya dan suku bangsa dan latar belakang disiplin ilmu. Sebagai akibat perbedaan latar belakang, mereka pun mengkaji dan melihat secara berbeda pula tentang anak usia dini dan pendidikan yang sesuai. Ada pandangan para ahli yang mengakui bahwa anak lahir sudah dibekali dengan potensi-potensi positif, anak memiliki kekuatan-kekutan positif untuk mengembangkan dirinya. Pandangan ini lebih melihat pendidikan terhadap anak sebagai upaya untuk mengembangkan potensi bawaannya. Padangan ahli yang menganggap anak adalah lahir tergantung dan tanpa potensi dan membutuhkan orang lain untuk menentukan arah perkembangannya. Anak perlu diajar dan dilatih suapaya dapat hidup dan menghidupi dirinya. Para ahli lain melihat anak berkembang dipegnauhi oleh potensi bawaannya dan membutuhkan interaksi dinamis dengan orang dewasa untuk mengoptimalkan potensi bawaannya. Padangan yang mengakui bahwa anak makhluk yang dibekali potensi untuk mengembangkan diri merupakan pandangan humanistik, yaitu padangan yang mengakui anak sebagai makhluk yang dibekali potensi untuk berbuat baik, mempertahankan dan mengembangkan dirinya. Padangan yang melihat anak sebagai individu yang tergantung dan tidak membawa apa-apa merupakan padangan behavioristik, yaitu anak adalah hasil pengaruh lingkungan dan berkembang tergantung pada lingkungannya. Bila lingkungan yang memelihara anak dengan baik, maka baiklah perkembangannya. Sebaliknya, bila anak berada pada lingkungan belajar yang jelek, maka akan kurang optimallah perkembangkannya. Padangan lain mengemukakan bahwa anak memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dan akan lebih baik perkembangannya melalui proses interakasi dengan lingkugnan sosialnya. Padangan ini disebut padangan konstruktif terhadap anak.
Berbagai pemikiran pada tokoh pendidikan anak usia dini yang melahirkan filosofi pendidikan anak usia dini. Berikut ini akan dibahas beberapa tokoh pedidikkan anak dan pemikiran filosifis terhadap anak usia dini.

Filosofi Islam

Pemikir utama pendidikan anak usia dini adalah Nabi Muhammad S.A.W. Beliau merupakan tokoh pendidikan yang menganjurkan pendidikan harus dimulai sejak kecil. Beliaulah yang menganjurkan pendidikan sebagai proses “life long of educaton”. Sabba Rasulullah saw menebutkan: “Utlubul ‘ilma minal mahdi illal lahdi”, (tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat). Sabda ini memberikan petunjuk yang tegas tentang pendidikan semenjak usia dini. Sabda ini menekankan bahwa pendidikan merupakan proses yang kuntinuitas mulai anak dalam gendongan orangtua sampai manusia meninggal duni. Sabda ini memberi makna bahwa pendidikan itu penting dan tidak ada kata berhenti untuk belajar untuk memperoleh ilmu.

Ki Hajar Dewantara

Dewantoro berpendapat bahwa anak-anak adalah mahluk hidup yang memiliki kodratnya masing-masing. Kaum pendidik hanya membantu menuntun kodratnya tersebut. Jika anak memilki kodrat yang tidak baik, maka tugas pendidik untuk membantunya menjadi baik. Jika anak sudah memiliki kodrat yang baik, maka ia akan lebih baik lagi jika dibantu melalui pendidikan. Kodrat dan lingkungan merupakan konvergensi yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain.
Untuk rentang usia dalam pendidikan dibagi menjadi 3 masa, yaitu (1) masa kanak-kanak/kinderperiod usia 1 – 7 tahun, (2) masa pertumbuhan jiwa dan pikiran usia 7 – 14 tahun, (3) masa soialperiod atau terbentuknya budi pekerti usia 14 – 21 tahun. Sesuai dengan rentang usia tersebut, maka cara mendidik untuk masa kanak-kanak adalah dengan memberi contoh dan pembiasaan, untuk masa pertumbuhan jiwa dan pikiran dengan cara pengajaran dan perintah/paksaan/hukuman, dan untuk masa sosialperiod dengan cara laku dan pengalaman lahir – bathin.
Dewantoro juga perduli dengan anak usia dini, dimana pada tanggal 3 juli tahun 1922 di Yogjakarta beliau mendirikan ”Taman Siswa” diperuntukan bagi anak usia dibawah 7 tahun dengan nama ”Taman Anak” yang seterusnya dikenal dengan ”Taman Indria”. Perkembangan Taman Siswa berikutnya berdiri sekolah rendah (sekolah dasar) dan sekolah lanjutan pertama. Pembagian sekolah rendah disesuaikan dengan perkembangan anak menjadi dua bagian yaitu bagian ”Taman Anak” dari kelas I sampai dengan kelas III untuk anak berumur 7 sampai 9 tahun dan ”Taman Muda” dari kelas IV sampai dengan kelas VI untuk anak usia 10 sampai 12 tahun.
Taman Indria bersemboyan ”tut wuri handayani” artinya bahwa taman ini memberi kebebasan yang luas selama tidak membahayakan anak. Sistem yang dipakai adalah sistem ”among’’ dengan maksud memberi kemerdekaan, kesukarelaan, demokrasi, toleransi, ketertiban, kedamaian, kesesuaian dengan keadaan dan hindari perintah dan paksaan. Sistem ini mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya dan merdeka tenaganya serta dapat mencari pengetahuan sendiri. Filosofi ki Hajar Dewantoro yang dianut adalah asah, asih, dan asuh.

Martin Luther King (1483 – 1546)

Martin Luther menekankan pada anak agar menggunakan sekolah sebagai sarana untuk mengajar anak membaca. Ia juga percaya bahwa keluarga sebagai institusi yang paling penting merupakan peletak dasar pendidikan bagi anak. Tanpa pendidikan maka anak tidak akan mendapatkan bekal bagi hidupnya di masa yang akan datang. Karena itu pendidikan dan sekolah bukan hanya sekedar tempat anak bersosialisasi saja, tetapi juga memiliki makna sebagai sarana religius dan penegak moral.

John Amos Comenius (1592 – 1670)

Comeinus sangat percaya bahwa pendidikan harus dimulai sejak dini. Pendidikan yang berlangsung harus mengikuti perkembangan alam anak (kematangan) dan memberi kesempatan pada anak untuk menggunakan seluruh inderanya. Pembelajaran semacam itu merupakan pembelajaran yang paling baik, karena pengalaman-pengalaman sensorial yang dialami anak usia dini merupakan dasar semua pembelajaran. Oleh karena itu Comenius meyakini bahwa penggunaan buku yang ada ilustrasinya akan sangat membantu mengembangkan kemampua anak.

J H. Pestalozi (1747 – 1827)

Sangat menekankan pada pendidikan yang memperhatikan kematangan anak. Pendidikan harus didasarkan pada pengaruh “objek pembelajaran”, misalnya guru membawa benda sesungguhnya ketika mengajar.
Sangat menekankan pada pengembangan aspek sosial sehingga anak dapat beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dan mampu menjadi anggota masyarakat yang berguna. Pendidikan sosial akan berkembang jika pendidikan dimulai dengan pendidikan keluarga yang baik. Peran utama pendidikan sangat ditekan pada ibu yang dapat memberikan sendi-sendi dalam pendidikan jasmani, budi pekerti dan agama.
Pandangan dasar Pestalozzi yang pertama menekankan pada pengamatan alam. Semua pengetahuan pada dasarnya bersumber dari pengamatan yang akan menimbulkan pengertian. Namun jika pengertian tersebut tanpa didasari pengamatan, maka akan menjadi sesuatu pengertian yang kosong (abstrak).
Pandangan kedua adalah menumbuhkan keaktifan jiwa raga anak. Melalui keaktifan anak akan mampu mengolah kesan (hasil) pengamatan menjadi suatu pengetahuan. Keaktifan akan mendorong anak melakukan interaksi dengan lingkungannya.
Pandangan ketiga adalah pembelajaran pada anak harus berjalan secara teratur setingkat demi setingkat atau bertahap. Prinsip ini sangat cocok dengan kodrat anak yang tumbuh dan berkembang secara bertahap. Pandangan dasar tersebut membawa konsekuensi bahwa bahan pengembangan yang diberikan pada anak pun harus disusun secara bertingkat, dimulai dari urutan bahan yang termudah sampai tersulit, dari bahan pengembangan yang sederhana sampai yang terkompleks.

Jean Jacques Rosseau (1712 – 1778)

Rousseau selalu menekankan pembelajaran yang dilakukan harus menggunakan pendekatan alam yang disebutnya pendekatan naturalistik. Pendidikan naturalistik membiarkan anak tumbuh tanpa intervensi dengan cara tidak membandingkan anak satu sama lain serta memberikan kebebasan anak untuk mengeksplorasi tanpa membahayakan diri sendiri dan orang lain. Sebagai seorang naturalist maka Rousseau meyakini agar orang dewasa tidak memberikan batasan-batasan pada anak, karena pengaruh batasan tersebut sangat besar, yaitu menghambat perkembangan anak. Kesiapan anak merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran.

Frederich Wilhelm Frobel (1782 – 1852)

Frobel merupakan salah seorang tokoh pendidikan anak yang banyak memberikan pengaruh dalam pemikiran baru (modern) dalam pengembangan anak usia dini, khususnya Taman Kanak-kanak. Walaupun ia banyak mempelajari visi kependidikan Pestalozzi, namun Frobel banyak memberikan ‘critical thinking’ pada sekolah Pestalozzi terutama dari segi kurangnya keterpaduan model pelaksanaan pembelajaran. Frobel lahir tahun 1782 di Oberweiszbach (Jerman). Pola pendidikan yang demokratis yang dikembangkannya banyak menimbulkan konfrontasi dengan pihak pemerintah sehingga ia dianggap sebagai pemberontak.
Pada tahun 1840, untuk merealisasikan cita-citanya Frobel meresmikan sebuah lembaga pendidikan yang diberi nama ‘Kindergarten’. Walaupun banyak tantangan (sampai-sampai ditutup lembaga pendidikan tersebut) tidak membuat Frobel patah semangat sehingga ia berniat untuk mengembangkan cita-citanya tersebut di Amerika. Namun sebelum cita-cita tersebut ia meninggal tahun 1852.
Pandangan dasar dari Frobel pengembangan otoaktivitas merupakan prinsip utama. Anak didik harus didorong untuk aktif sehingga dapat melakukan berbagai kegiatan (pekerjaan) yang produktif.
Prinsip kedua adalah kebebasan atau suasana merdeka. Otoaktivitas anak akan tumbuh dan berkembang jika pada anak diberikan kesempatan dalam suasana bebas sehingga anak mampu berkembang sesuai potensinya masing-masing. Melalui suasana bebas atau merdeka, anak akan memperoleh kesempatan mengembangkan daya fantasi atau daya khayalnya, terutama daya cipta untuk membentuk sesuatu dengan kekuatan fantasi anak.
Prinsip ketiga yang dikemukakan Frobel adalah pengamatan dan peragaan. Kegiatan ini dimaksudkan terutama dalam mengembangkan seluruh indra anak. Prinsip ini selaras dengan apa yang telah dikemukakan Pestalozzi terdahulu. Agar pembelajaran tidak verbalistik maka anak harus diberi kesempatan untuk melakukan pengamatan terhadap berbagai kondisi lingkungan alam di sekitar. Pada lingkungan alam yang jauh atau sulit untuk diamati maka dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip peragaan. Pendidik dapat meragakan hal-hal yang tidak mungkin diamati anak secara langsung, baik berupa lingkungan fisik, sosial maupun keagamaan.

Maria Montessori (1870-1952)
Maria Montessori, seorang dokter wanita Italia pertama. Montessori lahir di Chiaravalle, sebuah propinsi kecil di Ancona, Italia, pada tahun 1870. Reputasinya di bidang pendidikan anak dimulai setelah Montessori lulus dari sekolah kedokteran. Dia bekerja di sebuah klinik psikiatri Universitas Roma. Pekerjaannya tersebut menyebabkan dia berinteraksi langsung dengan masalah cacat mental.
Pemikiran Montessori yang berkaitan dengan anak cacat mental akhirnya ditindaklanjuti dengan pendirian Casai dei Bambini atau Children’s House di daerah-daerah kumuh di Roma tahun 1907. Lingkungan diatur sedemikian rupa sehingga dapat digunakan oleh anak-anak cacat mental di bawah lima tahun.
John Locke (1632-1704)
John Locke adalah pencetus teori “Tabula Rasa” yang menganggap bahwa anak sebagai kertas putih atau tablet yang kosong. Anak hidup di dalam lingkungannya yang sangat berpengaruh dalam proses pembentukan seorang anak. Melalui pengalaman-pengalaman yang dilalui anak bersama lingkungannya, akan menentukan karakter anak. Dia sangat mempercayai bahwa untuk mendapatkan pembelajaran dari lingkungannya, maka satu-satunya cara bagi anak adalah mendapatkan pelatihan-pelatihan sensoris.

TEORI-TEORI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Howard Gardner (1943)

Teori Howard Gardner muncul dalam jaman kita hidup sekarang ini. Ia mengatakan bahwa pada hakekatnya setiap anak adalah anak yang cerdas. Kecerdasan bukan hanya dipandang dari factor IQ saja, tetapi juga ada kecerdasan-kecerdasan lain yang akan mengantarkan anak pada kesuksesan.
Macam-macam kecerdasan menurut Gardner adalah :
a. Kecerdasan bahasa : kecerdasan anak dalam mengelola kata-kata.
b. Kecerdasan logika : kecerdasan dalam bidang angka dan alasan logis.
c. Kecerdasan musik : kecerdasan dalam bidang musik.
d. Kecerdasan gerak (kinestetik) : kecerdasan dalam mengolah anggota tubuh.
e. Kecerdasan gambar (spasial): kecerdasan anak dalam permainan garis, warna, dan ruang.
f. Kecerdasan diri (intrapersonal): kecerdasan dalam bidang pengenalan terhadap diri sendiri.
g. Kecerdasan bergaul (interpersonal): kecerdasan dalam membina hubungan dengan orang lain.
h. Kecerdasan alami (naturalist): kecerdasan yang berhubungan dengan alam.
i. Kecerdasan rohani (spiritual): kecerdasan mengolah rohani.
Jadi, Gardner memandang bahwa setiap anak memiliki peluang untuk belajar dengan gaya masing-msing anak.

John Bowlby (1907 – 1990).

John Bowlby terkenal sebagai salah seorang pelopor teori Ethologi. Dia lahir di London. Dia merupakan seorang guru di Proggessive Schools for Children, yang memberi perawatan medis dan latihan psiko-analitik. Teori Bowlby yang tekenal adalah tentang teori attachment. Dia mengemukakan perkembangan attachment bayi. Attachment yang dimaksud adalah keteraturan, kesenangan, keinginan untuk melekat terhadap orang-orang yang diakrabi. Salah satu attachment bayi adalah menangis ketika ditinggalkan pengasuhnya dan tersenyum ketika pengasuhnya datang atau memberi makan. Menurut Bowlby meskipun respon sosial bayi pada awalnya tanpa diskrimisasi. Anak yang kehilangan kesempatan untuk memperoleh hubungan sosial dengan orang lain akan mempengaruhi perkembangan sosial anak. Bila anak kehilangan kesempatan untuk megembangkan hubungan anak dengan lingkugan sosial selama periode bayi, maka mungkin hubungan sosial anak akan menjadi menyimpang seletah dewasa. Bayi yang kehilangan kontak yang memuaskan dengan manusia lain mereka akan kesulitan untuk mengembangkan tingah laku sosial yang sesuai. Ada dua ketekunan pada usia dini yaitu ‘separate enciety” dan stager anciety”. anak-anak yang sering ditinggal, petama anak akan menangis dan menolak semua bentuk pengasuhan, berkembang melalui periode despair; menjadi quiet, menarik diri dan pasif.. Pengasuh hendaknya memiliki pola yang tidak berbeda dengan orangtuanya. Orangtua harus memberikan perhatian, kasih sayang dan perasaan aman pada bayi agar anak berkembang dengan baik.

Jean Piaget (1907 – 1980)

Piaget merumuskan tahap perkembangan intelektual anak dalam 3 tahap yaitu ; (a) tahap sensori motorik (usia 0 – 2 tahun). Pada tahap ini anak berpikir adalah memahami diri dan lingkungannya melalui kesan-kesan sensori dan gerakan-gerakan motoriknya. Pikiran anak berkembang dengan pesat, berpikir anak belum sistematis, sering meloncat-loncat dari satu ide ke ide lain, dan belum logis, salah satu simbul yang digunakan adalah bahasa, sehingga bahasa anak berkemang dengan pesat, Mereka mulai mengunakan simbol ketika mereka menggunakan objek atau tindakan untuk menggambarkan sesuatu benda yang hilang (Ginsburg dan Opper, dalam Crain, 1992). Anak berpikir melalui kesan-kesan yang diterima sensorinya, seperti melalui melihat, mendengar, meraba, mencium, mengecap, membau dan melalui gerakan-gerakan yang dilakukan. Untuk mengembangkan berpikir anak dalam periode berpikir sensori motorik adalah memberikan stimulasi melalui sensori-sensori anak. Misalnya untuk mengembangkan berpikir anak melalui indera penglihatan adalah memperlihatkan kepada bayi berbagai warna, berbagai bentuk, berbagai pola/ukuran, benda yang bergerak dan memberikan kebebasan untuk bergerak, menjangkau, memanipulasi benda, dll.; (b) Tahap preoperational konkret (usia 2 – 6 tahun). Pada usia ini anak menurut Piaget sudah mulai berpikir secara mental meskipun belum sempurna. Pada usia ini hayalan masih mendominasi pikiran anak, anak sering menghayalkan sesuatu sebagaimana kenyataan. Ciri utama berfikir anak usia dini adalah berpikir egosentris, kemampuan merekam tinggi, rasa ingin tahu tinggi, sering melakukan dusta hayal, animistik, anak sudah dapat menggunakan simbol-simbol sedehana untuk menyatakan perasaan dan pikirannya. Ide-ide Piaget ini memiliki implikasi dalam pendidikan anak usia dini, khususnya dalam pengembangan berpikir anak usia dini. Pertama, menekankan bahwa anak adalah individu yang mampu membangun pengalamannya sendiri, oleh karena itu proses pendampingan harus berorientasi pada anak, melalui proses eksplorasi, intervensi dan membangun pengalaman anak sendiri melalui aktivitas bebas. Pendidikan anak usia dini diharapkan tidak memperbaiki pengalaman anak, tetapi menyediakan lingkungan, pengalaman dan material belajar yang diminati dan menantang anak untuk melakukan eksplorasi pengalaman anak dan menyelesaikan masalah secara mandiri. Pentingnya penekanan pemberian kesempatan pengajaran yang mempertimbangkan tingkat perkembangan anak. Menurut Piaget belajar untuk anak harus melalui proses aktif menemukan dan harus sesuai dengan tahap perkembangan anak. Pendidikan dimulai melalui anak belajar melalui pengetahuan langsung dan interkasi sosial

Lev Vigotsky (1896 – 1934)

Vigotsky adalah seorang ahli perkembangan berkebangsaan Rusia. Teorinya disebut dengan teori belajar sosial. Vigotsky mengemukakan bahwa perkembangan manusia melalui interaksi sosial yang memegang peranan penting dalam perkembangan kognitif anak. Menurtut Vigotsky anak belajar melalui dua tahapan yaitu interkasi dengan orang lain, orang tua, saudara, teman sebaya, guru dan belajar secara individual melalui mengintegrasikan segala sesuatu yang dipelajari dari orang lain dalam struktur kognitifnya. Vigotsky mengemukakan tiga perlengkapan manusia yaitu tools of the minds, zone of proximal development dan scoffolding.Tools adalah alat untuk membantu mempermudah kerja, seperti pahat, mesin potong, gergaji, pisau, mesin pangkas, adalah alat yang memudahkan kerja fisik manusia. Menurut Vigotsky kerja mental juga akan lebih mudah jika ada alat pendukungnya yang ia sebut sebagai tools of the minds yang berfungsi untuk mempermudah anak memahami suatu fenomena, memecahkan masalah, mengingat, dan untuk berfikir. Misalnya, kelereng, buah-buahan, lidi, biji-bijian adalah sejenis alat yang dapat membantu anak memahami konsep bilangan. Melalui alat ini akan dapat menghubungkan benda dengan bahasa simbolik, seperti konsep bilangan satu, dua, tiga, empat, lima, dan enam. Konsep zone of proximal development adalah suatu konsep tetang hubungan antara belajar dengan perkembangan anak. Istilah zone menggambarkan bahwa perkembangan merupakan suatu daerah atau medan. Perluasan suatu medan perkembangan ditentukan oleh bantuan orang yang lebih ahli yang disebut scaffolding. Scaffolling adalah bantuan yang diperoleh anak dari seseorang yang lebih mampu, lebih mengetahui, dan lebih terampil dalam ZPD untuk membantu anak agar memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi (Brunner dan Ross, 1976). Bentuk bantuan misalnya menyediakan objek, menunjukan bagian objek, mnggunakan gambar, menunjukan cara menggunakan sesuatu atau memberikan alat bantu pengukuran. Teori belajar Vigotsky memiliki empat prinsip umum yaitu: (a) anak mengkonstruksi pengetahuan akan lebih mudah bila tersedia tools of minds yang lebih kaya dan bervariasi, (b) belajar terjadi dalam kontek sosial. Oleh karena itu, untuk membantu mengoptimalkan perkembangan anak, dia harus dilibatkan sebanyak mungkin dalam interaksi sosial dengan sebaya, guru, orang tua dan orang dewasa lainnya, (c) belajar mempengaruhi perkembangan mental, dan (d) bahasa memegang peranan penting dalam membantu perkembangan mental anak. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan perkembangan berpikir anak, pengembangan bahasa atau literasi anak harus pula dioptimalkan melalui melibatkan anak dalam aktivitas literasi di rumah, di lembaga PAUD dan di masyarakat. Vigotsky menyakini bahwa anak memiliki kemampuan secara aktif membagun pengetahuan melalui interaksi sosial di lingkungannya. Kontek sosial mempengaruhi perkembangan berpikir, sikap dan tingkah laku anak. Kontek sosial adalah meliputi seluruh lingkungan dimana anak tinggal yang secara langsung atau pun tidak langsung dipengaruhi oleh sistem budaya yang berlaku dalam masyarakat dimana anak hidup. Vogotsky mengemukakan tiga konteks sosial yaitu (a) interaktif, orang lain atau teman sebaya yang sedang melakukan interaksi dengan anak, (b) tingkat struktural yaitu konteks sosial yang memiliki struktur seperti anggota keluarga, lembaga PAUD, dan masyarakat sekitar, dan (c) tingkat struktur sosial yang meliputi keseluruhan
berbagai hasil kreasi anggota masyarakat.


KEPUSTAKAAN

Berk, E. Laura. (1994). Child Development. New York: Allyn and Bacon

Bredekamp, Sue. (1987). Developmentally Appropriate Practice in Early Childhood Program Serving Children from Birth Through Age 8. Washington: Naeyc.

Cole, Michael and Sheila. R. Cole. (1993). The Development of Children. New York: W.H. Freeman and Company.

Crain, William. (1992). Theories of Development. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliff.

Maxim, G.W. (1993). Very Young. New York: MacMillan.

Mayesky, Mary. (1990). Activities Creatives. New York: Delmar Publishers, Inc.

Seefeldt, Harbour. (1994). Early Childhood Education. New York: MacMillan.

Shaffer, R. Devid. (1994). Social & Personality Development. California: Brooks/Cole Publishing Company.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar